Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pengertian Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Secara Umum
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja ada baiknya kita memahami secara singkat tentang apa itu Budaya. Mungkin anda pernah mendengar pada suatu komunitas disebut memiliki budaya rajin dan budaya malas belajar, ada lagi sebutan budaya tani, budaya dagang, dan seterusnya. Kita ambil contoh pada satu masyarakat terdapat Budaya Rajin Belajar. Pada masyarakat tersebut akan kita dapatkan hampir seluruh lapisan masyarakatnya berfikir, bersikap dan berperilaku belajar dengan nilai yang konstan, yaitu selalu rajin. Dan hal tersebut mereka lakukan dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, atau kita katakan rajin itu dilakukan secara konsisten.
Terdapat tanda kuat pada masyarakat tersebut yang menunjukkan mereka memiliki budaya rajin, yaitu: Pertama, mayoritas atau hampir seluruh masyarakatnya belajar rajin. Bila hanya sebagian kecil saja yang belajar rajin maka kita tidak bisa sebut itu budaya rajin; Kedua, ada yang kita sebut nilai dalam belajar tersebut, yaitu nilai rajin. Budaya sesuatu digambarkan dari nilai yang dianut suatu kelompok; Ketiga, sikap dan perilaku masyarakat tersebut akan selalu sejalan dengan nilai yang dimiliki (yaitu belajar rajin) dan perilaku serta sarana yang dimiliki menunjang budaya rajin belajar tersebut; Keempat, konsisten dari masa ke masa. Bila kerajinan dalam belajar dilakukan hanya sesaat, apalagi karena faktor pengaruh dari luar, misalnya karena ada perlombaan maka kita tidak bisa sebut mereka berbudaya rajin.
Mungkin gambaran diatas sudah cukup memberi pemahaman dasar tentang pengertian budaya secara umum. Sekarang mari kita lihat kepada Budaya Keselamatan & Kesehatan Kerja sambil kita lihat komponen dasar budaya k3 tersebut.
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Sama halnya dengan budaya rajin pada penjelasan diatas, budaya K3 harus memiliki 4 ciri seperti diatas. Namun disini akan disebutkan satu nilai yang utama dalam budaya K3, yaitu “mengutamakan K3”, “keberpihakan pada K3”, “mengutamakan keselamatan”, atau “safety first”. Anda mungkin sering melihat poster, banner besar yang dipasang oleh perusahaan ditempat tempat strategis yang bertuliskan “UTAMAKAN KESELAMATAN KERJA”. Pesan tersebut sebenarnya adalah nilai yang ingin diterapkan, walaupun pada prakteknya pesan tersebut hanya sebatas slogan, atau meniru-niru, latah dengan perusahaan lain, sementara pemahaman dan penerapannya tidak seperti yang seharusnya.
Mengutamakan K3 vs Mengabaikan K3
Perusahaan yang memiliki Budaya K3 yang kuat maka nilai yang harus dimiliki adalah mengutamakan K3 itu sendiri. Sebaliknya perusahaan yang memiliki budaya K3 yang lemah maka nilai yang dimilik adalah mengabaikan K3.
Dengan demikian mudah sekarang di fahami, bahwa bila perusahaan memiliki budaya K3 yang kuat maka semua persyaratan yang diperlukan untuk menyukseskan K3 akan sejalan dengan nilai yang dimiliki, yaitu mengutamakan dukungan pada semua persyaratan tersebut. Misalnya dukungan manajemen pada Sistem manajemen pada semua elemennya, pada semua program yang dibutuhkan, pada semua SDM yang diperlukan kompetensi K3 nya, pada infra struktur lainnya.
Budaya K3 atau Iklim K3?
Ada istilah Budaya K3 (Safety Culture) dan juga sering anda mendengar istilah Iklim K3 (Safety Climate). Apakah perbedaan diantara keduanya?
Budaya K3
Secara singkat dapat dikatakan Budaya K3 dia lebih stabil, konsisten dari masa ke masa, lihat persyaratan keempat diatas!. Biasaya lebih sulit melakukan asesmentnya, sebab memerlukan Ahli yang berpengalaman. Tool yang digunakan untuk menilai budaya tidak terlalu penting, tool yang paling kuat dan penting adalah keahlian dan pengalaman asesornya itu sendiri. Oleh sebab itu kita jangan keliru membedakan antara budaya dan iklim.
Iklim K3
Iklim merupakan snapshot saja dari budaya K3. Sebagaimana nama yang digunakan, yaitu Iklim, maka ia bersifat tidak permanen, tidak stabil, tidak konsisten dari waktu ke waktu. Dengan kata lain dikatakan seperti ini: “bila iklim diukur bulan Januari, maka pada bulan Maret atau bulan lainnya bisa berubah statusnya”. Sangat berbeda dengan budaya K3, dia stabil dari waktu ke waktu. Cara mengukur iklim K3 jauh lebih mudah, yaitu menggunakan kuesioner, dengan kata lain penilaian iklim K3 mengandalkan tool kuesioner. Dan jawaban pada kuesioner tersebut merupakan persepsi dari orang-orang yang dijadi sampel di dalam survey dimana persepsinya sangat dipengaruhi oleh kondisi diluar dirinya. Misal, di tekan oleh atasan agar menjawab yang sesuai keinginan, iming iming, rasa takut, sedang gembari atau puas pada perusahaan dan lain sebagainya.
Chandra Satrya